Democrazy

9:30 PM 0 Comments



Sebelumnya, cercaan dan unek-unek ini hanya ngawur belaka. Tidak ada yang bener dalam cercaan dan awur-awuran saya ini. Saya hanya memang suka ngawur, ngawur sana, ngawur sini. Dan yang pasti hanya membunuh waktu, membiasakan mencerca daripada mendendam.

                Malam yang sangat menarik menurut saya. Mendengar dan melihat paparan visi, misi, bahkan sudut pandang dari masing-masing calon presiden kita, tentu saja disertai dengan ekspresi mereka saat mereka memaparkannya. Cara-cara seperti ini adalah yang paling saya sukai. Bagaimana dua kubu yang bersaing, atau dalam kasus lain dapat diartikan berseteru, diketemukan. Diminta saling bertatap muka, beradu cara pikir, dan dihakimi oleh seluruh komponen manusia.


                Sejujurnya saya tidak mengerti soal hakim. Bagaimana seorang manusia biasa, bisa memberi keputusan yang benar dan adil. Beliau mungkin bisa memberi keputusan yang benar, namun pasti tidak adil. Beliau pun pasti bisa memberi keputusan yang adil, tapi pasti tidak benar. Namun jika yang member penghakiman adalah rakyat banyak, dengan berbagai pikiran dan pendidikan, dengan berbagai sudut pandang dan ideology, dan tentu saja dengan berbagai emosi. Maka penghakimannya akan mendekati benar, mendekati adil, dan yang paling penting, akan sangat menarik.


                Begitu pula apa yang dilakukan dalam debat capres-cawapres. Tidak ada jawaban dari mereka yang benar mutlak, tidak ada pula yang salah mutlak. Kesemuanya akan menjadi bahan bagi rakyat untuk menilai, mana yang dianggap hamper benar, mana pula yang dianggap hampir salah. Saat rakyat akan membandingkan masing-masing kasus dan solusi dengan latar belakang pendidikan dan tradisi yang berbeda, maka keputusan yang keluar dari masing-masing individu rakyat tersebut akan berbeda, sesuai dengan latar belakangnya. Dan keberagaman keputusan itulah yang akan menjadi penghakiman yang sangat menarik, yang akan mendekati kebenaran, yang akan mendekati keadilan.


                Begitulah cara Tuhan negeri ini, Demokrasi, bekerja. Dia bekerja dengan mengandalkan keputusan yang beragam tersebut, mengandalkan kebhinekaan, mengandalkan sudut pandang yang berbeda, mengandalkan hak-hak dasar manusia dalam berpendapat, dan tentu saja, mengandalkan kemampuan manipulatif dan persuasive dari seseorang. Kita mungkin akan merasa benar saat keputusan kita didukung oleh mayoritas, dan kita akan merasa salah jika kita adalah penganut keputusan minoritas. Memang, memang seperti itulah paham kebenaran yang harus kita anut jika kita orang-orang demokratis. Seorang bajingan akan memimpin sebuah pemerintahan jika didukung oleh mayoritas, itulah kebenaran demokrasi, itulah manipulasi demokrasi, itulah ke-bajingan-an Tuhan negeri ini.


                Pada mulanya, saya sering berucap bahwa demokrasi itu hanya kakak dari bungsu, hanya anak keempat dari ibu Pancasila. Pancasila sendiri punya anak-anak yang seharusnya lebih diutamakan, lebih hebat daripada si anak keempat ini. Anak pertama Pancasila adalah Ketuhanan, apabila Pancasila telah moksa dari tahta negeri ini, seharusnya Ketuhanan lah yang akan menjadi penerusnya. Jika mungkin Ketuhanan tidak mampu untuk menggantikan Pancasila, masih ada anak kedua, yaitu Kemanusiaan. Jika Kemanusiaan juga tidak mampu, masih ada anak ketiga, Persatuan. Nah, apabila Persatuan tidak juga mampu, barulah anak keempat, Mufakat (Demokrasi) boleh duduk di tahta negeri ini. Namun jika ternyata, Demokrasi juga tidak mampu, dia pun harus digantikan anak bungsu, Keadilan Sosial.


                Sering diartikan oleh sepuh-sepuh budayawan dan sastrawan, bahwa Pancasila sebenarnya adalah karakterisitik pemimpin negeri. Bukan system ideology seperti yang saya jabarkan di atas. Setiap pemimpin yang memimpin negeri ini, haruslah Berketuhanan, Berkemanusiaan, dan berjiwa Pemersatu, setelah itu beliau harus melaksanankan Mufakat (Demokrasi), yang tujuannya adalah untuk Keadilan Sosial. Jika merunut pada hal ini, tentu saja, si anak keempat ini adalah sistemnya. Sementara anak pertama hingga ke tiga, adalah karakter pemimpinnya, dan anak bungsu adalah tujuannya. Untuk itu, negeri ini berarti sudah ada di jalan yang tepat dalam menerapkan demokrasi sebagai system. Masalahnya adalah, pemimpin yang di dadanya bersemayam sila ke-1 sampai ke-3, belum ada. Saat pemimpin dengan karakter yang tepat muncul, dan menjalankan demokrasi, maka jelas, tujuannya adalah Keadilan Sosial, tepat. Namun jika karakter pemimpin belum didapatkan, namun demokrasi telah dikumandangkan, ya begitulah… Demokrasi jadi durhaka pada Pancasila, bahkan merasa jadi Tuhan di negeri Pancasila ini.


                Ketuhanan sebagai sulung dari 5 bersaudara ini mengajarkan pemimpin kita untuk benar. Untuk lurus dan bertanggung jawab. Untuk senantiasa menjalankan pemerintahan bukan hanya berlandaskan hukum, namun juga norma-norma Tuhan. Putera kedua, Kemanusiaan, mengajarkan welas asih. Saling menyayangi, dan melindungi rakyat. Mengajarkan  iba dan pengampunan dalam melaksanankan hukum. Memberi batasan, mana yang pantas, dan mana yang tidak. Si Panengah, Persatuan, mengajarkan untuk gotong royong, saling membantu, merangkul semua kalangan untuk menjadi satu bangsa yang kebhinekaannya justru menjadi alasan utama rakyatnya, untuk saling bekerja sama. Demokrasi membawa pemimpin sempurna itu untuk berpikir terbuka, menerima masukan dan kritik, dan menghargai perbedaan pendapat. Demokrasi memiliki poin yang tak tersentuh saudaranya yang lain, yaitu mau mendengar. Mendengar keluhan dan masukan dari siapapun, dengan jiwa yang lapang dan rendah hati. Sementara Keadilan Sosial akan hadir di masa damai, akan dating di masa tenang, setelah semuanya tuntas tanpa sedikitpun celah. Keadilan social akan membawa rakyat merasa dihargai, merasa dilindungi, baik oleh hukum, maupun oleh pemimpinnya. Dan keadilan social akan membawa suatu masa dimana berlaku curang tidak akan hadir di pikiran siapapun.


                Dan jika kembali menilik debat capres-cawapres kemarin. Saya pun tersenyum simpul, bagaimana mungkin justru demokrasi yang jadi tema debat. Bagaimana mungkin anak keempat ini yang maju ke depan seolah-olah jadi hukum yang harus dipatuhi capres-cawapres. Dan bagaimana mungkin, ibu dari Demokrasi, yaitu Pancasila, sama sekali tidak disinggung di debat tersebut. Di satu sisi, beliau ini hanya bermain kata dengan kekayaan dan sumber daya alam yang bocor. Dan di sisi lain, beliau ini malah lebih senang membahas isu-isu HAM di masa lalu, dan menyerang beliau yang satunya. Namun Pancasila? Dimana Pancasila? Negeri ini negeri Pancasila bukan? Ini bukan negeri Demokrasi iya toh? Lantas dimana Pancasila? Lantas dimana Ketuhanan? Dimana Kemanusiaan? Baiklah, kemanusiaan adalah hal yang dibahas dengan balutan isu pelanggaran HAM di masa lalu. Dimana Persatuan? Dan Keadilan Sosial, Keadilan Sosial adalah utopia yang berkali-kali di ucapkan beliau ini, jika…. Hanya jika sumber daya alam tidak bocor. Dan kalaupun tidak bocor, ternyata uangnya pun pada akhirnya akan menggendutkan perut-perut pejabat Negara, dengan dalil, ‘Untuk Mengurangi Korupsi, Kesejahteraan Aparatur Negara harus Diperhatikan’. Lantas untuk rakyat apa? Susu putih gratis? Atau harapan-harapan semu seorang pemimpin mau ikut nyemplung di banjir, bareng-bareng mindahin barang-barang rakyat yang nilainya ndag seberapa, namun dengan kamera media di sekelilingnya?


                Yah… begitulah cara kerja Tuhan negeri ini. Salah demokrasi kah? Tidak… Ini adalah salah orang-orang yang menuhankannya. Salah orang-orang yang entah lupa atau pura-pura lupa kepada Pancasila. Salah orang-orang yang lupa jika demokrasi masih punya 4 saudara lain. Dan tentu saja ini salah kita, salah kita yang membiarkan ini terjadi.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar:

Dimohon untuk menggunakan kata-kata yg sopan