Democrazy
Sebelumnya, cercaan dan unek-unek ini hanya ngawur belaka. Tidak ada yang bener dalam cercaan dan awur-awuran saya ini. Saya hanya memang suka ngawur, ngawur sana, ngawur sini. Dan yang pasti hanya membunuh waktu, membiasakan mencerca daripada mendendam.
Malam
yang sangat menarik menurut saya. Mendengar dan melihat paparan visi, misi,
bahkan sudut pandang dari masing-masing calon presiden kita, tentu saja
disertai dengan ekspresi mereka saat mereka memaparkannya. Cara-cara seperti
ini adalah yang paling saya sukai. Bagaimana dua kubu yang bersaing, atau dalam
kasus lain dapat diartikan berseteru, diketemukan. Diminta saling bertatap
muka, beradu cara pikir, dan dihakimi oleh seluruh komponen manusia.
Sejujurnya
saya tidak mengerti soal hakim. Bagaimana seorang manusia biasa, bisa memberi
keputusan yang benar dan adil. Beliau mungkin bisa memberi keputusan yang
benar, namun pasti tidak adil. Beliau pun pasti bisa memberi keputusan yang
adil, tapi pasti tidak benar. Namun jika yang member penghakiman adalah rakyat
banyak, dengan berbagai pikiran dan pendidikan, dengan berbagai sudut pandang
dan ideology, dan tentu saja dengan berbagai emosi. Maka penghakimannya akan
mendekati benar, mendekati adil, dan yang paling penting, akan sangat menarik.
Begitu
pula apa yang dilakukan dalam debat capres-cawapres. Tidak ada jawaban dari
mereka yang benar mutlak, tidak ada pula yang salah mutlak. Kesemuanya akan
menjadi bahan bagi rakyat untuk menilai, mana yang dianggap hamper benar, mana
pula yang dianggap hampir salah. Saat rakyat akan membandingkan masing-masing
kasus dan solusi dengan latar belakang pendidikan dan tradisi yang berbeda,
maka keputusan yang keluar dari masing-masing individu rakyat tersebut akan
berbeda, sesuai dengan latar belakangnya. Dan keberagaman keputusan itulah yang
akan menjadi penghakiman yang sangat menarik, yang akan mendekati kebenaran,
yang akan mendekati keadilan.
Begitulah
cara Tuhan negeri ini, Demokrasi, bekerja. Dia bekerja dengan mengandalkan
keputusan yang beragam tersebut, mengandalkan kebhinekaan, mengandalkan sudut
pandang yang berbeda, mengandalkan hak-hak dasar manusia dalam berpendapat, dan
tentu saja, mengandalkan kemampuan manipulatif dan persuasive dari seseorang.
Kita mungkin akan merasa benar saat keputusan kita didukung oleh mayoritas, dan
kita akan merasa salah jika kita adalah penganut keputusan minoritas. Memang,
memang seperti itulah paham kebenaran yang harus kita anut jika kita
orang-orang demokratis. Seorang bajingan akan memimpin sebuah pemerintahan jika
didukung oleh mayoritas, itulah kebenaran demokrasi, itulah manipulasi
demokrasi, itulah ke-bajingan-an Tuhan negeri ini.
Pada
mulanya, saya sering berucap bahwa demokrasi itu hanya kakak dari bungsu, hanya
anak keempat dari ibu Pancasila. Pancasila sendiri punya anak-anak yang
seharusnya lebih diutamakan, lebih hebat daripada si anak keempat ini. Anak
pertama Pancasila adalah Ketuhanan, apabila Pancasila telah moksa dari tahta
negeri ini, seharusnya Ketuhanan lah yang akan menjadi penerusnya. Jika mungkin
Ketuhanan tidak mampu untuk menggantikan Pancasila, masih ada anak kedua, yaitu
Kemanusiaan. Jika Kemanusiaan juga tidak mampu, masih ada anak ketiga,
Persatuan. Nah, apabila Persatuan tidak juga mampu, barulah anak keempat,
Mufakat (Demokrasi) boleh duduk di tahta negeri ini. Namun jika ternyata,
Demokrasi juga tidak mampu, dia pun harus digantikan anak bungsu, Keadilan
Sosial.
Sering
diartikan oleh sepuh-sepuh budayawan dan sastrawan, bahwa Pancasila sebenarnya
adalah karakterisitik pemimpin negeri. Bukan system ideology seperti yang saya
jabarkan di atas. Setiap pemimpin yang memimpin negeri ini, haruslah
Berketuhanan, Berkemanusiaan, dan berjiwa Pemersatu, setelah itu beliau harus
melaksanankan Mufakat (Demokrasi), yang tujuannya adalah untuk Keadilan Sosial.
Jika merunut pada hal ini, tentu saja, si anak keempat ini adalah sistemnya.
Sementara anak pertama hingga ke tiga, adalah karakter pemimpinnya, dan anak
bungsu adalah tujuannya. Untuk itu, negeri ini berarti sudah ada di jalan yang
tepat dalam menerapkan demokrasi sebagai system. Masalahnya adalah, pemimpin
yang di dadanya bersemayam sila ke-1 sampai ke-3, belum ada. Saat pemimpin
dengan karakter yang tepat muncul, dan menjalankan demokrasi, maka jelas,
tujuannya adalah Keadilan Sosial, tepat. Namun jika karakter pemimpin belum
didapatkan, namun demokrasi telah dikumandangkan, ya begitulah… Demokrasi jadi
durhaka pada Pancasila, bahkan merasa jadi Tuhan di negeri Pancasila ini.
Ketuhanan
sebagai sulung dari 5 bersaudara ini mengajarkan pemimpin kita untuk benar.
Untuk lurus dan bertanggung jawab. Untuk senantiasa menjalankan pemerintahan
bukan hanya berlandaskan hukum, namun juga norma-norma Tuhan. Putera kedua,
Kemanusiaan, mengajarkan welas asih. Saling menyayangi, dan melindungi rakyat.
Mengajarkan iba dan pengampunan dalam
melaksanankan hukum. Memberi batasan, mana yang pantas, dan mana yang tidak. Si
Panengah, Persatuan, mengajarkan untuk gotong royong, saling membantu,
merangkul semua kalangan untuk menjadi satu bangsa yang kebhinekaannya justru
menjadi alasan utama rakyatnya, untuk saling bekerja sama. Demokrasi membawa
pemimpin sempurna itu untuk berpikir terbuka, menerima masukan dan kritik, dan
menghargai perbedaan pendapat. Demokrasi memiliki poin yang tak tersentuh
saudaranya yang lain, yaitu mau mendengar. Mendengar keluhan dan masukan dari
siapapun, dengan jiwa yang lapang dan rendah hati. Sementara Keadilan Sosial
akan hadir di masa damai, akan dating di masa tenang, setelah semuanya tuntas
tanpa sedikitpun celah. Keadilan social akan membawa rakyat merasa dihargai,
merasa dilindungi, baik oleh hukum, maupun oleh pemimpinnya. Dan keadilan
social akan membawa suatu masa dimana berlaku curang tidak akan hadir di
pikiran siapapun.
Dan
jika kembali menilik debat capres-cawapres kemarin. Saya pun tersenyum simpul,
bagaimana mungkin justru demokrasi yang jadi tema debat. Bagaimana mungkin anak
keempat ini yang maju ke depan seolah-olah jadi hukum yang harus dipatuhi
capres-cawapres. Dan bagaimana mungkin, ibu dari Demokrasi, yaitu Pancasila, sama
sekali tidak disinggung di debat tersebut. Di satu sisi, beliau ini hanya
bermain kata dengan kekayaan dan sumber daya alam yang bocor. Dan di sisi lain,
beliau ini malah lebih senang membahas isu-isu HAM di masa lalu, dan menyerang
beliau yang satunya. Namun Pancasila? Dimana Pancasila? Negeri ini negeri
Pancasila bukan? Ini bukan negeri Demokrasi iya toh? Lantas dimana Pancasila?
Lantas dimana Ketuhanan? Dimana Kemanusiaan? Baiklah, kemanusiaan adalah hal
yang dibahas dengan balutan isu pelanggaran HAM di masa lalu. Dimana Persatuan?
Dan Keadilan Sosial, Keadilan Sosial adalah utopia yang berkali-kali di ucapkan
beliau ini, jika…. Hanya jika sumber daya alam tidak bocor. Dan kalaupun tidak
bocor, ternyata uangnya pun pada akhirnya akan menggendutkan perut-perut
pejabat Negara, dengan dalil, ‘Untuk
Mengurangi Korupsi, Kesejahteraan Aparatur Negara harus Diperhatikan’.
Lantas untuk rakyat apa? Susu putih gratis? Atau harapan-harapan semu seorang
pemimpin mau ikut nyemplung di banjir, bareng-bareng mindahin barang-barang
rakyat yang nilainya ndag seberapa, namun dengan kamera media di sekelilingnya?
Yah…
begitulah cara kerja Tuhan negeri ini. Salah demokrasi kah? Tidak… Ini adalah
salah orang-orang yang menuhankannya. Salah orang-orang yang entah lupa atau pura-pura
lupa kepada Pancasila. Salah orang-orang yang lupa jika demokrasi masih punya 4
saudara lain. Dan tentu saja ini salah kita, salah kita yang membiarkan ini
terjadi.
0 komentar:
Dimohon untuk menggunakan kata-kata yg sopan