Yo Sepurane yen Aku Kere...
MISKIN…
Kata yang entah,
sepertinya paling anti diterima sebagai status manusia dewasa ini. Ga ada yang
mau dimasukin sebagai kaum dengan embel-embel miskin. Susah dapet cewe bro,
kalo miskin. Yap. Susah mau nyari temen bro, kalo miskin. Yap. Susah buat gaul
bro, kalo miskin. Sekali lagi, yap.
Pentingnya status
sebagai embel-embel sebuah pribadi ini sedikit mengusik nurani saya. Apa
pentingnya status seperti itu. Kau tak dinilai miskin, dari status
kemiskinanmu. Kau tak dinilai kaya, dari status kekayaanmu. Loh? Pada awalnya,
sekali lagi, menurut saya. Tersebutlah seorang dengan pekerjaan yang pas-pasan,
uang pas-pasan, rumah pas-pasan, barang berharga pas-pasan, sehingga
kehidupannya serba biasa bahkan cenderung kekurangan akan dicap dengan status
miskin. Itu logikanya. Sehingga keluarganya akan menjadi keluarga miskin,
anaknya akan menjadi anak miskin, status seperti ini akan mendarah daging
sepanjang keturunan sebelum ada sebuah perubahan berarti yang dilakukan salah
seorang anggota keluarga itu.
Status, atau
katakanlah imej miskin itu akan melekat, seiring bertambah dengan gaya hidup. Saya
contohnya. Andaikan saya terbiasa makan dengan mie instan seharga tiga ribu
rupiah seporsi. Jika saya makan tiga kali sehari, selama 30 hari. Maka, saya
akan mengeluarkan sekitar 270 ribu rupiah sebulan. Itu artinya saya miskin,
karena gaya makan saya hanya senilai 270 ribu sebulan. Hal-hal seperti itu akan
ditambah dengan gaya pakaian saya, kendaraan saya, jajanan saya, tempat
nongkrong saya, pekerjaan saya, sehingga kesemuanya akan membentuk sebuah imej
bahwa kehidupan saya miskin. Bandingkan dengan jika saya terbiasa makan di,
katakanlah stan junkfood seharga 15 ribu sekali makan. Maka saya akan
mengeluarkan sekitar 1.350 ribu sebulan, hanya untuk makan. Jelas saya yang
kedua imejnya jauh lebih kaya dari saya yang pertama. Padahal tak ada yang tau
bahwa gaji bulanan saya tetap sama, gaya hidup menentukan imej miskin atau
kaya. Sekedar imej.
Generasi saya
sekarang (baca: pemuda) lebih senang dengan saya yang kedua. Yang imejnya kaya.
Atau pura-pura kaya. Atau terlihat kaya.
Atau apalah. Tak jarang saya menemukan, seorang cowo, yang rela poso (puasa), selama hari senin sampai
jumat, hanya karena pada sabtunya dia akan mengajak pacarnya makan di restoran.
Pacarnya tentu saja, anggap dia orang kaya, padahal hanya imej kaya. Wah, El. Itu namanya romantic, rela
berkorban, cowo sejati. Wah, bener juga sampean. Tapi kalo saya ya cowo itu
memang romantic, memang rela berkorban, tapi goblok. Buat apa seorang pemuda
lebih senang dipandang pacarnya sebagai orang kaya, padahal dia aja nabung
sedemikian rupa untuk itu? Lha kalo kita
keliatan miskin di depan cewe, ya ndag laku-laku loh kita ini. Kita juga
ndag perlu pura-pura miskin padahal mampu, itu jauh lebih hina, lebih goblok
buat saya. Kita cukup apa adanya saja lah.
Pura-pura miskin kok hina? Kok goblok? Itu
artinya dia ndag sombong.
Bener sampean mas, dalam satu sisi.
Dalam sisi lain, ndag juga. Mereka jauh lebih rendah, kalo pura-pura mlarat.
Anggaplah beberapa tahun lalu, saat gencarnya system BLT (Bantuan Langsung
Tunai). Para tukang sensus BLT, berdasarkan data dari kepala desa, secara
manual menyisir rumah-rumah warga, mengecek, dengan selembar kertas yang berisi
standar kemiskinan seseorang.Misinya mulia, agar BLT tidak jatuh ke tangan yang
salah. Tapi ga semudah itu. Pengecekan secara manual masih dikadalin oleh
beberapa oknum warga dengan cara nyembunyiin barang-barangnya ke, entah kemana.
Yang pasti diumpetin. Biar tukang sensus ga tau. Saat wawancara pun, si
oknum-oknum ini menjawab dengan serendahnya. Misal: penghasilan perbulan. Para
oknum yang seharusnya punya 2 juta di rekening banknya setiap akhir bulan,
hanya menjawab 1 juta sebagai penghasilan perbulannya. Ini kan bohong. Ini
goblok. Ini pengen imej miskin. Status miskin, di mata pemerintah. Akibatnya ya
tetep salah sasaran.
Ngemis. Saya,
sekali lagi, ndag suka sama orang ngemis. Pengemis itu kaya atau miskin? Miskin lah El. Kalo ndag miskin, ngapain
dia ngemis. Bener, itu jawaban yang bener untuk beberapa tahun yang lalu.
Sekarang? Ndag juga. Dewasa ini, di sebuah kota, jumlah pengemisnya adalah 15
persen dari penduduk kota itu. Dan penghasilan pengemis di kota itu jika
beroperasi di jalan-jalan protokol, adalah rata-rata 600 ribu rupiah per hari.
Mereka miskin? Jelas ndag. Wong penghasilan mereka sehari hamper sama dengan
penghasilan saya seminggu. Status mereka yang miskin, imej mereka yang miskin.
Apa ini ga rendah? Apa ini ga hina? Berpura-pura miskin biar dapet belas
kasihan orang lain. Dan gobloknya, kita ngasih duit ke mereka, duit kita, dari
gaji kita yang ndag seberapa, dan kita
berbangga diri udah ngasih ke pengemis. Kita berpikir kita kaya. Lebih kaya
dari pengemis itu, nyatanya… CUIIIIH…..!
0 komentar:
Dimohon untuk menggunakan kata-kata yg sopan