Yo Sepurane yen Aku Kere...

9:55 PM 0 Comments


      MISKIN…
     Kata yang entah, sepertinya paling anti diterima sebagai status manusia dewasa ini. Ga ada yang mau dimasukin sebagai kaum dengan embel-embel miskin. Susah dapet cewe bro, kalo miskin. Yap. Susah mau nyari temen bro, kalo miskin. Yap. Susah buat gaul bro, kalo miskin. Sekali lagi, yap.
     Pentingnya status sebagai embel-embel sebuah pribadi ini sedikit mengusik nurani saya. Apa pentingnya status seperti itu. Kau tak dinilai miskin, dari status kemiskinanmu. Kau tak dinilai kaya, dari status kekayaanmu. Loh? Pada awalnya, sekali lagi, menurut saya. Tersebutlah seorang dengan pekerjaan yang pas-pasan, uang pas-pasan, rumah pas-pasan, barang berharga pas-pasan, sehingga kehidupannya serba biasa bahkan cenderung kekurangan akan dicap dengan status miskin. Itu logikanya. Sehingga keluarganya akan menjadi keluarga miskin, anaknya akan menjadi anak miskin, status seperti ini akan mendarah daging sepanjang keturunan sebelum ada sebuah perubahan berarti yang dilakukan salah seorang anggota keluarga itu.
      Status, atau katakanlah imej miskin itu akan melekat, seiring bertambah dengan gaya hidup. Saya contohnya. Andaikan saya terbiasa makan dengan mie instan seharga tiga ribu rupiah seporsi. Jika saya makan tiga kali sehari, selama 30 hari. Maka, saya akan mengeluarkan sekitar 270 ribu rupiah sebulan. Itu artinya saya miskin, karena gaya makan saya hanya senilai 270 ribu sebulan. Hal-hal seperti itu akan ditambah dengan gaya pakaian saya, kendaraan saya, jajanan saya, tempat nongkrong saya, pekerjaan saya, sehingga kesemuanya akan membentuk sebuah imej bahwa kehidupan saya miskin. Bandingkan dengan jika saya terbiasa makan di, katakanlah stan junkfood seharga 15 ribu sekali makan. Maka saya akan mengeluarkan sekitar 1.350 ribu sebulan, hanya untuk makan. Jelas saya yang kedua imejnya jauh lebih kaya dari saya yang pertama. Padahal tak ada yang tau bahwa gaji bulanan saya tetap sama, gaya hidup menentukan imej miskin atau kaya. Sekedar imej.
       Generasi saya sekarang (baca: pemuda) lebih senang dengan saya yang kedua. Yang imejnya kaya. Atau pura-pura kaya. Atau  terlihat kaya. Atau apalah. Tak jarang saya menemukan, seorang cowo, yang rela poso (puasa), selama hari senin sampai jumat, hanya karena pada sabtunya dia akan mengajak pacarnya makan di restoran. Pacarnya tentu saja, anggap dia orang kaya, padahal hanya imej kaya. Wah, El. Itu namanya romantic, rela berkorban, cowo sejati. Wah, bener juga sampean. Tapi kalo saya ya cowo itu memang romantic, memang rela berkorban, tapi goblok. Buat apa seorang pemuda lebih senang dipandang pacarnya sebagai orang kaya, padahal dia aja nabung sedemikian rupa untuk itu? Lha kalo kita keliatan miskin di depan cewe, ya ndag laku-laku loh kita ini. Kita juga ndag perlu pura-pura miskin padahal mampu, itu jauh lebih hina, lebih goblok buat saya. Kita cukup apa adanya saja lah.
       Pura-pura miskin kok hina? Kok goblok? Itu artinya dia ndag sombong.
      Bener sampean mas, dalam satu sisi. Dalam sisi lain, ndag juga. Mereka jauh lebih rendah, kalo pura-pura mlarat. Anggaplah beberapa tahun lalu, saat gencarnya system BLT (Bantuan Langsung Tunai). Para tukang sensus BLT, berdasarkan data dari kepala desa, secara manual menyisir rumah-rumah warga, mengecek, dengan selembar kertas yang berisi standar kemiskinan seseorang.Misinya mulia, agar BLT tidak jatuh ke tangan yang salah. Tapi ga semudah itu. Pengecekan secara manual masih dikadalin oleh beberapa oknum warga dengan cara nyembunyiin barang-barangnya ke, entah kemana. Yang pasti diumpetin. Biar tukang sensus ga tau. Saat wawancara pun, si oknum-oknum ini menjawab dengan serendahnya. Misal: penghasilan perbulan. Para oknum yang seharusnya punya 2 juta di rekening banknya setiap akhir bulan, hanya menjawab 1 juta sebagai penghasilan perbulannya. Ini kan bohong. Ini goblok. Ini pengen imej miskin. Status miskin, di mata pemerintah. Akibatnya ya tetep salah sasaran.
      Ngemis. Saya, sekali lagi, ndag suka sama orang ngemis. Pengemis itu kaya atau miskin? Miskin lah El. Kalo ndag miskin, ngapain dia ngemis. Bener, itu jawaban yang bener untuk beberapa tahun yang lalu. Sekarang? Ndag juga. Dewasa ini, di sebuah kota, jumlah pengemisnya adalah 15 persen dari penduduk kota itu. Dan penghasilan pengemis di kota itu jika beroperasi di jalan-jalan protokol, adalah rata-rata 600 ribu rupiah per hari. Mereka miskin? Jelas ndag. Wong penghasilan mereka sehari hamper sama dengan penghasilan saya seminggu. Status mereka yang miskin, imej mereka yang miskin. Apa ini ga rendah? Apa ini ga hina? Berpura-pura miskin biar dapet belas kasihan orang lain. Dan gobloknya, kita ngasih duit ke mereka, duit kita, dari gaji kita yang ndag  seberapa, dan kita berbangga diri udah ngasih ke pengemis. Kita berpikir kita kaya. Lebih kaya dari pengemis itu, nyatanya… CUIIIIH…..!

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar:

Dimohon untuk menggunakan kata-kata yg sopan