Kunang-Kunang

6:27 PM 0 Comments









     Malam itu saya lagi pulang ke desa, ke Malang. Saya naik motor butut saya malem-malem naik ke kawasan Batu. Saya menyengaja ndag lewad jalan raya, saya lewat lajur belakang, lewat sawah-sawah nan menghampar diterpa angin malam. Niatnya memang mau jalan-jalan, nyari angin, ndag papa yang penting ndag sampai masuk angin kalau kata ibu saya.
     Di antara sesawahan dan pepohonan yang masih jarang ditumbuhi rumah itu. Saya kayak ngeliat cahaya kecil. Saya sih ndag tau cahaya apa itu yang terapung malem-malem gini, sendirian, ga punya temen. Lalu saya simpulkan sekenanya, ahh paling itu ya kunang-kunang. Dan saya terus berlalu.
     Saya ndag ngerasain apa-apa sampai malemnya, saya sampai di rumah. Saya kembali nanya-nanya, apa itu bener kunang-kunang ya? Saya sendiri paham, bagi anak-anak sekarang, mungkin kunang-kunang itu cuman hewan dalam legenda. Bagaimana tidak? Dewasa ini nyari yang namanya kunang-kunang di kota-kota yang sudah penuh carut-marut tumbuhan yang namanya bangunan ini, adalah setara dengan usaha saya buat macarin Nabilah JKT, alias hampir mustahil. Jadi kayaknya para remaja yang seumuran sama saya, atau lebih tua, bisa sombong ke pemuda-pemuda alay zaman sekarang kalau kami pernah melihat seekor hewan dalam legenda yang mampu bersinar, tanpa baterai, tanpa powerbank.
      Kerusakan ekosistem telah mengusir kunang-kunang dari habitatnya. Jaman saya kecil dulu, ibu saya itu pernah ndongeng. Ndag ngerti niadnya buat nakut-nakutin saya atau bagaimana. Tapi, ibu saya dulu itu cerita kalau kunang-kunang itu lahir dari kuku mayat di kuburan yang ndag dipotong. Jadi kalo saya mulai rewel buat motong kuku, ibu saya pasti cerita gitu. Saya dulu mah takut, tapi kesel dan males juga kalau disuruh motong kuku. Saya juga ndag tau bener atau tidak cerita itu, yang pasti besok harinya saya ndag dimarahin guru saya karena kuku saya sudah dipotong. Dan mungkin, kerusakan ekosistem yang dimaksud itu adalah kita kekurangan mayat-mayat yang kukunya belum dipotong.
      Ahh sudahlah. Paling tidak, anggaplah jika itu benar adanya adalah sebagai kunang-kunang (terakhir) yang saya temui. Dia telah melalui berbagai macam cobaan hidup hingga mampu bertahan, hidup, di kota seperti Malang yang cukup ramai dewasa ini. Saya hargai benar perjuangannya. Mungkin awalnya mereka adalah satu gerombol, namun satu-persatu akhirnya menyerah kepada alam. Mereka menyerah, mati, atau bahkan bunuh diri pada akhirnya karena ndag mampu lagi berjuang. Hingga tinggalah, kunang-kunang yang saya liat itu, sendirian, terapung bercahaya penuh semangat, penuh damai, dan percaya diri. Seperti halnya saya dan teman-teman, yang pada awalnya bersama-sama berjuang bersama di bangku sekolah, menyearahkan cita-cita bersama, bermimpi bersama. Namun akhirnya, yah, seperti kunang-kunang itu, saya tinggal sendiri di sini, menempuh kehidupan saya sendiri, bertanggung jawab akan nasib saya sendiri. Sampai akhirnya, bibir ini telah tak sanggup menyeruput kopi panas dan sebatang rokok lagi. Saat itulah, cahaya kunang-kunang itu akan padam. Selamanya.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar:

Dimohon untuk menggunakan kata-kata yg sopan