Kunang-Kunang
Malam itu saya lagi pulang ke desa, ke Malang. Saya naik motor butut saya malem-malem naik ke kawasan Batu. Saya menyengaja ndag lewad jalan raya, saya lewat lajur belakang, lewat sawah-sawah nan menghampar diterpa angin malam. Niatnya memang mau jalan-jalan, nyari angin, ndag papa yang penting ndag sampai masuk angin kalau kata ibu saya.
Di antara
sesawahan dan pepohonan yang masih jarang ditumbuhi rumah itu. Saya kayak
ngeliat cahaya kecil. Saya sih ndag tau cahaya apa itu yang terapung malem-malem
gini, sendirian, ga punya temen. Lalu saya simpulkan sekenanya, ahh paling itu
ya kunang-kunang. Dan saya terus berlalu.
Saya ndag
ngerasain apa-apa sampai malemnya, saya sampai di rumah. Saya kembali
nanya-nanya, apa itu bener kunang-kunang ya? Saya sendiri paham, bagi anak-anak
sekarang, mungkin kunang-kunang itu cuman hewan dalam legenda. Bagaimana tidak?
Dewasa ini nyari yang namanya kunang-kunang di kota-kota yang sudah penuh
carut-marut tumbuhan yang namanya bangunan ini, adalah setara dengan usaha saya
buat macarin Nabilah JKT, alias hampir mustahil. Jadi kayaknya para remaja yang
seumuran sama saya, atau lebih tua, bisa sombong ke pemuda-pemuda alay zaman
sekarang kalau kami pernah melihat seekor hewan dalam legenda yang mampu
bersinar, tanpa baterai, tanpa powerbank.
Kerusakan
ekosistem telah mengusir kunang-kunang dari habitatnya. Jaman saya kecil dulu,
ibu saya itu pernah ndongeng. Ndag ngerti niadnya buat nakut-nakutin saya atau
bagaimana. Tapi, ibu saya dulu itu cerita kalau kunang-kunang itu lahir dari
kuku mayat di kuburan yang ndag dipotong. Jadi kalo saya mulai rewel buat
motong kuku, ibu saya pasti cerita gitu. Saya dulu mah takut, tapi kesel dan
males juga kalau disuruh motong kuku. Saya juga ndag tau bener atau tidak cerita
itu, yang pasti besok harinya saya ndag dimarahin guru saya karena kuku saya
sudah dipotong. Dan mungkin, kerusakan ekosistem yang dimaksud itu adalah kita
kekurangan mayat-mayat yang kukunya belum dipotong.
Ahh sudahlah. Paling
tidak, anggaplah jika itu benar adanya adalah sebagai kunang-kunang (terakhir)
yang saya temui. Dia telah melalui berbagai macam cobaan hidup hingga mampu
bertahan, hidup, di kota seperti Malang yang cukup ramai dewasa ini. Saya hargai
benar perjuangannya. Mungkin awalnya mereka adalah satu gerombol, namun
satu-persatu akhirnya menyerah kepada alam. Mereka menyerah, mati, atau bahkan
bunuh diri pada akhirnya karena ndag mampu lagi berjuang. Hingga tinggalah,
kunang-kunang yang saya liat itu, sendirian, terapung bercahaya penuh semangat,
penuh damai, dan percaya diri. Seperti halnya saya dan teman-teman, yang pada
awalnya bersama-sama berjuang bersama di bangku sekolah, menyearahkan cita-cita
bersama, bermimpi bersama. Namun akhirnya, yah, seperti kunang-kunang itu, saya
tinggal sendiri di sini, menempuh kehidupan saya sendiri, bertanggung jawab
akan nasib saya sendiri. Sampai akhirnya, bibir ini telah tak sanggup
menyeruput kopi panas dan sebatang rokok lagi. Saat itulah, cahaya
kunang-kunang itu akan padam. Selamanya.
0 komentar:
Dimohon untuk menggunakan kata-kata yg sopan